Mengetahui Tatmadaw, Tentara Militer Myanmar yang Terkenal Brutal dan Kejam

Naypyidaw - Sejak menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi setahun lalu, militer Myanmar yang dikenal dengan nama Tatmadaw membuat dunia terpana karena mereka membunuhi ratusan warga, termasuk puluhan anak yang menentang kekuasaan militer.

Bagi rakyat Myanmar, setahun terakhir ini dipenuhi pembunuhan oleh tentara dan penyerangan hingga ke desa-desa.

Yang teranyar pada Desember lalu ketika penyelidikan BBC menemukan Tatmadaw melancarkan serangkaian serangan yang melibatkan penyiksaan dan pembunuhan massal.

Menurut Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP), lebih dari 1.500 orang dibunuh oleh pasukan keamanan sejak kudeta Februari tahun lalu.

Mengapa Tatmadaw menjadi sangat berkuasa dan brutal?


Apa itu Tatmadaw?


Tatmadaw berarti "tentara" atau "angkatan bersenjata" dalam bahasa Birma, tapi nama itu kini sudah sama artinya dengan penguasa militer.

Sejak berabad-abad Kerjaan Birma sudah memiliki tentara tapi dilarang ketika Inggris berkuasa.

Sejarah Tatmadaw bermula dari Pasukan Kemerdekaan Birma (BIA) yang didirikan pada 1941 oleh sekelompok revolusioner, termasuk Aung San, tokoh yang dianggap "Bapak Bangsa" oleh rakyat Birma.

Dia adalah ayah dari Aung San Suu Kyi.

Aung San dibunuh beberapa saat sebelum Birma meraih kemerdekaan dari Inggris 1948.

Tapi sebelum kematiannya, BIA sudah bergabung dengan milisi lain untuk membentuk angkatan bersenjata nasional.

Setelah kemerdekaan, angkatan bersenjata itu kemudian berbentuk seperti sekarang orang mengenal Tatmadaw.

Selepas kemerdekaan, Tatmadaw meraih kekuasaan dan pengaruh. Pada 1962, mereka menguasai negeri dalam sebuah kudeta dan kemudian berkuasa tanpa perlawanan hingga 50 tahun kemudian.

Pada 1989 Birma mengubah nama resmi negara menjadi Myanmar.

Status terpandang

Sosok tentara menjadi impian bagi banyak rakyat Myanmar. Standing tentara memiliki derajat tinggi di tengah masyarakat.

"Saya bergabung jadi tentara karena ingin punya senjata, pergi ke medan perang, dan bertempur. Saya suka bertualang dan berkorban bagi negara," kata Lin Htet Aung, mantan kapten di Tatmadaw, seperti dilansir laman BBC, Rabu (2/1).

Dia kemudian keluar dari tentara untuk bergabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM) yang muncul setelah kudeta 1 Februari dan melibatkan banyak dokter, perawat, serikat pekerja dan banyak lagi yang lainnya.

"Sekarang saya sangat malu. Saya salah kira. Pengunjuk rasa damai diserang dengan ruthless dan dalam sejumlah kasus dengan bom, kekerasan dan penembak jitu.

Ini bukan Tatmadaw yang saya inginkan. Itulah alasan saya bergbaung dengan CDM."

Myanmar terdiri dari lebih 130 etnis. Buddha dan Bamar menjadi etnis mayoritas.

Etnis Bamar tergolong kaum elit di Myanmar dan para ahli menyebut tentara memandang diri mereka sebagai kaum elitnya elit.

"Mereka sangat-sangat menganut ideologi ultranasionalis," kata Gwen Robinson, pengamat Myanmar di Universitas Chulalongkorn, Bangkok.

"Mereka melihat kelompok etnis minoritas sebagai ancaman dan tidak berhak tinggal di Myanmar karena dianggap mereka ingin memecah belah dan mengganggu stabilitas negara dan karena itu harus disingkirkan."

Kondisi ini membuat Myanmar menjadi lokasi dari perang saudara selama beberapa dasawarsa.

Banyaknya kelompok milisi etnis bersenjata yang ingin memisahkan diri dari negara pusat membuat Tatmawada selalu bertempur, terkadang di beberapa lokasi sekaligus.

Bahkan perang antara tentara dengan kelompok milisi etnis ini disebut-sebut pengamat sebagai konflik terlama di dunia.

"Ini membentuk Tatmadaw seperti sekarang yang menjadi mesin perang sadis dan hanya mengikuti perintah seperti robotic," kata Robinson.

Sejumlah etnis minoritas seperti muslim Rohingya menjadi korban kekejaman Tatmadaw sejak lama.

Kini ratusan demonstran, termasuk mereka yang beretnis Bamar Buddha juga dibunuh oleh tentara.

Menurut Robinson, semua orang berpotensi menjadi pemberontak menurut Tatmadaw. "Mereka melihat demonstran sebagai pengkhianat."

Beban tugas yang cukup lama, terkucilkan dari masyarakat, membuat tentara memiliki pandangan kejam.

Sebagian harus tinggal di asrama tertutup, tinggal dengan keluarga dan diawasi secara ketat kemudian dicekoki publicity militer, kata pengamat dan pengakuan dari sejumlah mantan tentara.

Pengamat menilai kondisi ini membuat mereka merasa satu keluarga tentara dan anak-anak mereka terkadnag menikahi anak tentara lain.

"Tatmadaw menjadi seperti kultus agama," kata Robinson. "Mereka tidak banyak berhubungan dengan warga luar."

Seorang tentara yang kemudian membelot dan bergabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil membenarkan kondisi ini.

"Mereka terlalu lama di militer sehingga hanya tahu bahasa tentara. Mereka tidak paham apa yang terjadi di luar dunia tentara," kata Letnan Chan Mya Thu

. Negara

dalam Negara Sebagian besar pola pikir Tatmadaw masih menjadi misteri.

"Ini seperti negara dalam negara," kata Scot Marciel, Duta Besar AS untuk Myanmar hingga 2020.

"Mereka tidak berinteraksi dengan masyarakat lain. Mereka berada di dalam ruang gema dan saling mengatakan betapa pentingnya mereka, betapa hanya mereka yang mampu mempertahankan negara, dan tanpa mereka maka negara akan hancur."

Kecaman, misalnya, muncul ketika para jenderal menggelar ceremony militer mewah dan pesta makan malam di Kota Nay Pyi Taw Maret lalu, sementara di saat yang sama tentara membunuhi lebih dari 100 warga di seantero negeri.

Namun tentara berpangkat rendah mengatakan, kemewahan itu hanya diperoleh oleh mereka yang berpangkat tinggi.

"Petinggi militer itu kaya raya dan mereka tidak pernah mau berbagi dengan yang di bawahnya," kata Mayor Hein Thaw Oo, mantan tentara kepada BBC Birma.

"Ketika saya bergabung dengan Tatmadaw, saya pikir saya akan menjaga perbatsan dan kedaulatan negara.

Tapi saya melihat tentara berpangkat rendah tidak dihargai dan dirundung oleh atasannya."

Tentara pada akhirnya hanya diperintah oleh sang pemimpin kudeta Jenderal Minutes Aung Hlaing.

Tapi pengamat menilai Tatmadaw juga tidak mendewakan sosok pemimpin.

"Salah jika mengira dia (Min Aung Hlaing) adalah sumber masalah," kata Marciel.

"Menurut saya institusi dan tradisi di dalamnya itulah yang jadi masalah, dan dia adalah produk dari itu."

Mayor Oo mengatakan ketika Jenderal Hlaing mengambil alih kekuasaan dia mendapat banyak dukungan di tentara setelah meningkatkan kemampuan persenjataan dan seragam.

Kini Tatmadaw bertindak sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Pasukan tempur yang sangat kuat dan terselubung dan hanya peduli dengan institusi sendiri.

"Intinya," kata Marciel, "menurut saya, mereka tidak ambil pusing dengan apa kata dunia."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tingkatkan Pengamanan Dari Barang Ilegal, Bea Cukai Memusnahkan Barang BMN Hasil Tindakan

Baru Hari Pertama Operasi Patuh Jaya Dilakukan, Terdapat Sebanyak 2.560 Pelanggar

Polisi Menangkap 14 Orang Tersangka Kasus Pengeroyokan Anggota Polri di Tanjung Priok